Semantik atau makna bahasa
sangat penting dalam aktivitas komunikasi. Gangguan semantik dapat terjadi jika
komunikator dan komunikan memiliki sistem makna yang berbeda, seperti perbedaan
bahasa, dialek, jargon, atau istilah ambigu. Gangguan semantik dapat diatasi
dengan memperhatikan siapa lawan bicara, latar belakang pendidikan, budaya, dan
status sosial ekonomi. Pengetahuan yang baik tentang lawan bicara dapat
membantu proses komunikasi yang lancar dan menyikapi orang yang dikenal dengan
baik.
Psikologi menyatakan
bahwa kita membentuk persepsi berdasarkan kerangka acuan atau frame of
reference kita. Ketika akan bertindak atau memutuskan sesuatu, individu
menggunakan aturan-aturan yang telah disahkan oleh kelompok masyarakat dan
pemerintah, seperti undang-undang. Contohnya, pembangunan LRT atau MRT di
Jakarta harus mengikuti aturan pemerintah pusat dan daerah DKI.
Gangguan fisik adalah
hambatan yang menghalangi pesan atau sinyal untuk sampai ke penerima. Contohnya
bisa berupa tulisan yang tidak jelas, suara bising dari kendaraan, atau pesan
spam di email. Semua itu membuat komunikasi menjadi sulit dipahami oleh
penerima.
Stereotip adalah cara
berpikir yang menyamaratakan orang atau kelompok tertentu karena kurangnya
informasi mengenai mereka, sehingga dianggap homogen. Hal ini disebabkan
kecenderungan manusia untuk membagi dunia menjadi dua kategori, yaitu
"kita" dan "mereka". Stereotip menyebabkan persepsi
selektif tentang orang dan segala hal disekitar kita, karena kita cenderung
malas melakukan kerja kognitif dalam berpikir mengenai orang lain.
Analisa Faktor
Semantik, Psikologi, Fisik dan Stereotip pada Konflik Buruh/Pekerja Driver
Go-Jek dengan PT Go-Jek Indonesia
Dalam permasalahan ini, terdapat
hubungan semantik, karena terdapat perbedaan makna antara pandangan
buruh/pekerja dan perusahaan. Buruh/pekerja menganggap bahwa mereka tidak
dibayar dengan cukup untuk kerja keras yang mereka lakukan, sedangkan
perusahaan berpendapat bahwa mereka telah memberikan upah yang adil.
Selain itu, terdapat
faktor psikologi yang mempengaruhi konflik ini, seperti persepsi buruh/pekerja
terhadap perusahaan dan sebaliknya. Persepsi ini dapat dipengaruhi oleh
pengalaman pribadi, nilai-nilai, dan budaya yang dimiliki oleh masing-masing
individu. Ketidakpuasan buruh/pekerja terhadap perusahaan dapat memicu perasaan
frustasi, amarah, dan ketidakadilan yang memperumit konflik.
Stereotip juga dapat
berperan dalam konflik ini, di mana buruh/pekerja dapat memiliki pandangan
stereotip terhadap perusahaan sebagai pihak yang tidak peduli dengan
kepentingan mereka, sementara perusahaan dapat memiliki pandangan stereotip
terhadap buruh/pekerja sebagai pihak yang hanya menginginkan upah yang lebih
tinggi tanpa memperhatikan kondisi bisnis perusahaan.
Terakhir, faktor fisik
juga dapat mempengaruhi konflik ini, seperti kondisi kerja yang berisiko dan
mempengaruhi kesehatan buruh/pekerja. Buruh/pekerja driver Go-Jek memiliki
risiko kecelakaan dan kelelahan yang lebih tinggi karena harus mengemudi untuk
waktu yang lama, sedangkan perusahaan mungkin tidak menganggap risiko ini
sebagai masalah yang serius.
Dalam keseluruhan,
konflik antara buruh/pekerja driver Go-Jek dan PT Go-Jek Indonesia mencerminkan
kompleksitas hubungan antara buruh/pekerja dan perusahaan. Masalah semantik,
psikologi, stereotip, dan fisik semuanya mempengaruhi konflik ini dan harus
dipertimbangkan dalam mencari solusi yang adil bagi kedua belah pihak.